Wednesday, September 19, 2007

Skizophrenia

Sekitar 1 hingga 2 juta masyarakat Indonesia, terdeteksi mengalami Skizophrenia. Ironisnya, banyak orang yang tidak mengerti benar mengenai penyakit yang satu ini. Skizophrenia sendiri adalah salah satu gangguan jiwa yang berkaitan dengan masalah medik. Penyakit ini sering kambuh, dan mempengaruhi semua aspek kehidupan penderita.
Penyakit ini ditandai dengan ketidak mampuan menilai realita, dimana penderita sering mendengar suara bisikan, berperilaku aneh, dan mempunyai kepercayaan yang salah yang tidak dapat dikoreksi.
Akibatnya, mereka akan mengalami kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri, yang bisa menyulitkan kehidupan pribadai, keluarga, maupun kehidupan sosial penderitanya. Buntutnya, mereka cenderung menggantungkan sebagian besar aspek kehidupannya pada orang lain.

masih buram
Penyebab penyakit yang satu ini sampai sekarang memang belum diketahui secara pasti. Namun, menurut ahli penyakit kejiwaan skizophrenia RSCM dr. Irmansyah, berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa skizophrenia disebabkan oleh berbagai faktor seperti gangguan otak, ketidakseimbangan kimiawi otak, gangguan struktur dan juga fungsi otak.
Zat-zat kimia tertentu juga ikut berperan dalam mengantar sinyal antar sel saraf. Apabila terjadi gangguan pada keseimbangan zat-zat kimia ini, maka timbullah gejala skizophrenia.
Faktor keturunan juga disebutkan ikut berperan dalam memicu skizophrenia, dan resiko akan semakin besar, jika ada anggota keluarga yang menderita skizophrenia. Namun, resiko tersebut, akan dipercepat dengan munculnya tekanan, kerusakan sel-sel otak, atau penggunaan zat-zat terlarang.
Skizophrenia adalah penyakit yang cenderung menahun/kronis. Penderita bisa saja dikatakan sembuh, namun bisa kambuh jika obat dihentikan, atau munculnya pemicu lainnya. Apabila sering kambuh, maka kualitas hidup penderita skizophrenia akan semakin buruk.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizophrenia antaralain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stres dan beban pikiran.
Karena itu, peran lingkungan pada dasarnya sangat penting bagi perkembangan pemulihan penderita skizophrenia.
pria lebih berpotensi
Gejala-gejala skizophrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Pada laki-laki biasanya mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun. Sementara pada wanita lebih lambat yakni sekitar 25-35 tahun. Hal ini, menurut dr. Irmansyah disebabkan karena wanita memiliki hormon ekstrogen yang bisa menjadi penangkal munculnya resiko skizophrenia tersebut. Atau dengan kata lain skizophrenia menyerang pada usia produktif manusia.
Gejala skizophrenia sangat bervariasi, mulai dari halusinasi yang berlebihan, terjadinya perubahan penampilan dan perilaku yang berbeda dari biasanya, seperti menarik diri dari sosial dan tidak memiliki motivasi sehingga harus berhenti dari pekerjaan atau sekolahnya. Selain itu, mereka para penderita biasanya mengalami disabilitas dalam kegiatan sehari-hari.
Gejala lain yang mungkin muncul adalah terjadinya penurunan respon emosi yang tidak sesuai atau juga ekspresi emosi. Mereka umumnya mengalami keterbatasan emosi dan emosi yang tumpul.
Atau gejala gangguan proses pikir dimana mereka mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang salah yang tidak sesuai dengan realita. Meskipun hal tersebut salah, pada umumnya mereka tidak ingin dikoreksi dan tetap merasa dirinya paling benar. Hal tersebut, biasa diistilahkan dengan waham atau delusi.
Terkadang mereka juga menjadi penuh agresivitas jika dalam keadaan akut, seperti marah-marah, menyerang orang lain, dan merusak barang serta melukai diri sendiri.
Seperti halnya gejala yang dialami oleh La Ode Muhamad Aswin (21). Aswin mengaku, saat pertama kali mengalami skizophrenia, ia sering mendengar bisikan-bisikan aneh yang selalu mengajaknya membuat hal yang negatif. Akibatnya, iapun sering merasa jiwanya tidak tenang, dan sangat sukar berkonsentrasi. “Awalnya saya tidak menyadari dan bingung dengan apa yang terjadi pada diri saya. Namun kemudian saya berkonsultasi dengan Dadang Hawari dan akhirnya menjalani rehabilitasi,” ujar Aswin.
Setelah menjalani rehabilitasi selama 5 bulan, Aswin yang drop out dari Institut Pertanian Bogor ini, mulai sembuh. Kini, iapun mengaku tidak lagi harus mengkonsumsi obat-obatan, dan hanya menjalani terapi mental saja. “Selama direhab, saya harus menjalani beberapa terapi mulai dari terapi obat, mental, sosial, agama, dan terapi lukis. Menurut saya, yang paling berpengaruh dalam kesembuhan saya adalah terapi mental,” jelas remaja yang saat ini kuliah di UIN Syarief Hidayatulah Jakarta itu.
obat oral dan dukungan Anda
Pengobatan yang diberikan pada penderita skizophrenia tidak hanya tergantung pada obat-obatan oral semata. Namun karena penyakit ini disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan neurokimia di otak, sehingga penanganannya diperlukan pemberian obat-obatan untuk mengatasi kondisi atau gejala-gejala tersebut.
Kesembuhan skizophrenia, menurut dr. Irmansyah sulit untuk dipastikan. Namun yang bisa dilakukan adalah mengendalikan gejalanya saja. Pemberian obat, biasanya diberikan dalam jangka panjang, seperti bulanan atau tahunan tergantung pada kondisi pasien. Namun, jika kondisinya mulai membaik, maka dosis akan diturunkan hingga mencapai dosis terkecil, atau bahkan dihentikan sama sekali.
Obat yang biasa digunakan untuk mengendalikan gejala skizophrenia bisa berupa obat tablet, sirup, tetes, atau suntikan. Pemberiannya pun bervariasi mulai dari sekali sehari, hingga tiga kali sehari. Beberapa nama obat yang sering digunakan antaralain klorpromazin, haloperidol, trifluperazin, flufenazin dekanoat, resperidon, olanzapin, klozapin. Beberapa obat tersebut biasanya akan menimbulkan efek samping seperti kekakuan otot, mengantuk, gerakan tubuh kaku seperti robot, gelisah, gemetaran, dll. Efek samping dari obat tersebut dengan memberikan beberapa jenis obat seperti triheksifenidil, atau defenhidramin.
Namun, beberapa pengobatan atau terapi lainnya juga perlu dilakukan. Seperti misalnya terapi mental dan juga terapi lingkungan yang pada dasarnya jauh lebih berpengaruh pada pengobatan pasien tersebut. Menurut Irmansyah, kedua jenis terapi tersebut harus dipadukan agar pemulihan bisa lebih cepat tercapai.