Thursday, February 28, 2008

maka, kutanamkan bencimu padaku

jika kata tak lagi bermakna,
maka kutanamkan bencimu padaku
ketika sikap tak jua berubah,
maka kutanamkan bencimu padaku
kala hati tak lagi berbudi,
maka kutanamkan bencimu padaku
saat moral tak lagi mengusik,
maka kutanamkan bencimu padaku
karena aku tak bisa melepasmu,
maka kutanamkan bencimu padaku
karena harapku mulai tumbuh,
maka kutanamkan bencimu padaku
agar kau tinggalkanku
selamanya.....

Friday, February 08, 2008

ereksi?

Disfungsi ereksi (DE) adalah penyakit yang sangat ditakuti oleh semua pria, karena dapat mencuri keperkasaan pria.
Kemampuan ereksi pria, memang menjadi penentu terjadinya hubungan seksual Namun ternyata sekedar mampu ereksi saja tak cukup untuk mencapai kepuasan seksual yang sempurna bagi Anda ataupun pasangan Anda.
Sebab berdasarkan hasil Pfizer Global Better Sex Survey (GBBS) terhadap perilaku seksual sekitar 12.558 pria dan wanita di 27 negara, ternyata tingkat kekerasan ereksi merupakan salah satu faktor utama dalam mencapai kepuasan seks yang lebih baik.
Dari survei tersebut ditemukan bahwa lebih dari setengah pasangan yang diwawancarai, merasa tidak puas dengan kehidupan seks mereka, karena tingkat kekerasan ereksi yang kurang memadai.

Setidaknya, hanya 38% pria yang merasa puas dengan tingkat kekerasan ereksi mereka. Sementara 67% lainnya, mengaku selalu mencapai ereksi meskipun 65% diantaranya tidak selalu dapat mempertahankan ereksi saat melakukan hubungan seksual.
Ereksi penentu kepuasan seksual
Menurut Wimpie Pangkahila, ahli dari pusat studi andrologi dan seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, kualitas ereksi menjadi penentu dalam kepuasan seksual pasangan.
Menurut dia, bila seseorang tidak bisa berereksi dengan baik, maka kepuasan seksual menjadi tidak optimal meskipun mereka bisa mencapai orgasme.
Umumnya, menurut Wimpie, reaksi penis terhadap rangsangan seksual itu beragam, mulai dari tidak ada reaksi sama sekali, membesar, membesar tidak sempurna (tidak tegang, tak cukup untuk hubungan seksual), ereksi (tegang, cukup untuk hubungan seksual), hingga ereksi dan tegang sempurna. Secara global, kualitas kepuasan seksual dan pengalaman seksual, bisa dicapai jika ereksi semakin keras.
Sayangnya, masih banyak pria-pria yang tidak menyadari bahwa mereka berpotensi mengalami DE karena tidak paham dengan tingkat kekerasan ereksi yang mereka alami.
Namun, mempertahankan kualitas ereksi yang terbaikpun bukan perkara mudah. Pasalnya, hal ini juga tergantung pada tingkat rangsangan seksual dan juga psikoseksual yang dirasakan.
Tingkat kekerasan ereksi juga dipengaruhi oleh usia seseorang, dimana semakin bertambah usianya, maka makin menurun pula derajat kekerasan ereksinya tersebut. Menurut Wimpie, hormon puncak pria terjadi pada usia 30 tahunan, sehingga derajat ideal kekerasan ereksinya pun bisa optimal pada usia tersebut.
“Pada usia remaja, sering juga muncul ereksi spontan yang biasanya mencapai hingga delapan kali pada malam hari ketika tidur. Ereksi ini juga biasanya akan kembali muncul pada pagi hari sebagai sisa dari ereksi spontan malam sebelumnya,” ujar Wimpie.
Tingkat kekerasan ereksi atau munculnya DE juga bisa muncul karena dampak dari terapi obat, operasi besar, radioterapi, dan kolesterol tinggi. Akan tetapi, menurut Wimpie, DE karena diabetes (yang menyebabkan gangguan pembuluh darah ke penis dan vagina) yang termasuk DE yang paling sulit diobati.
Tak sembarang ereksi
Berdasarkan penelitian GBBS didapatkan hasil bahwa tingkat kekerasan ereksi yang berbeda, akan memberikan kepuasan yang berbeda pula. Jadi, bagi Anda pria-pria yang masih mampu ereksi, sejauh mana sebenarnya tingkat kekerasan ereksi Anda saat ini? sudah tercapaikah kepuasan seksual Anda?
Dalam pertemuan tahunan European Association of Urology (EAU) maret lalu, ditemukan instrumen baru untuk mengukur tingkat kekerasan ereksi dalam mengontrol proses penanganan masalah disfungsi ereksi (DE) dalam metode Erection Hardscore Metode (EHS).
Metode yang diperkenalkan oleh DR Irwin Goldstein ini, berfungsi sebagai standar kuantitatif yang mengukur derajat kekerasan ereksi dan sekaligus mengukur efektifitas pengobatan pada pasien yang menderita DE.
Metode yang dikembangkan pfizer ini, kemudian akan digunakan untuk memonitor dan mengobati pasien hingga mereka bisa mencapai potensi ereksi yang sempurna.
EHS dibagi dalam empat grade berbeda yang bisa digunakan para pria untuk menentukan derajat tingkat kekerasan ereksinya. Untuk Anda yang memiliki tingkat derajat kekerasan ereksi grade 1, artinya penis Anda membesar namun tidak keras sehingga tidak bisa melakukan penetrasi. Dalam skala ini, Anda harus waspada karena artinya Anda telah masuk dalam tahap mengalami DE.
Sementara jika Anda berada pada grade 4 yakni dimana penis Anda keras dan tegang seluruhnya layaknya mentimun, maka Anda harus merasa puas dan berbangga hati, karena artinya, Anda memiliki derajat ereksi yang ideal untuk mendapatkan kepuasan seksual yang optimal. Jadi, berada dalam grade yang manakah Anda saat ini?

Tipe Erection Hardscore (EHS) :
1. EHS 1 merupakan ereksi jenis tape yakni dimana penis bisa membesar namun tidak keras, untuk tipe yang satu ini, penetrasi tidak bisa dilakukan.
2. EHS 2 merupakan ereksi jenis pisang, yakni dimana penis bisa membesar dan keras, namun tidak cukup keras untuk melakukan penetrasi.
3. EHS 3 merupakan ereksi jenis sosis, dimana penis cukup keras untuk melakukan penetrasi namun tidak seluruhnya keras
4. EHS 4 merupakan ereksi jenis ketimun, dimana penis keras seluruhnya dan tegang seluruhnya, sehingga proses penetrasi bisa menghasilkan kepuasan seksual yang paling maksimal.


Ada apa dengan lajang?


Dalam cuplikan sebuah iklan yang kini tengah gencar beredar ditelevisi, ada hal yang cukup menarik ketika seorang pria yang berada didalam sebuah pesta pernikahan merasa kebingungan saat seluruh keluarganya terus menanyakan perihal kapan dia menikah.
Sekilas iklan tersebut, terkesan lucu. Namun jika ditelaah lebih lanjut makna dibalik itu semua adalah bagaimana kejadian itu umum terjadi dimasyarakat kita ketika ada orang yang masih sendiri, diusianya yang sudah dianggap layak berkeluarga.

Dinegeri ini, para lajang terutama lajang perempuan diusia yang disebut rentan atau diatas kepala tiga memang masih dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak lazim dan bahkan dianggap aib dibeberapa wilayah tertentu.
Pasalnya, sejak jaman nenek moyang kita hingga bahkan kini dibeberapa wilayah terpencil, wanita-wanita muda sudah diharuskan menikah diusia yang tergolong masih sangat dini.
Walhasil, mereka-mereka yang memutuskan menunda pernikahannya karena berbagai hal, umumnya dianggap terlalu pemilih atau yang lebih ekstrim dianggap tidak laku oleh sebagian orang.
Padahal, banyak orang yang memutuskan untuk melajang karena keinginan pribadinya, dan merasa bahagia dengan kondisinya tersebut.
Menurut psikolog Ratih Andjayani Ibrahim, presentase peningkatan lajang di kota metropolitan seperti Jakarta, memang kian meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut, dipicu oleh gaya hidup masyarakat dan juga makin berubahnya fokus kehidupan seseorang. “Saat ini makin banyak orang yang lebih memikirkan urusan karirnya terlebih dahulu dibandingkan dengan urusan jodoh ini,” ujar Ratih.
Beberapa alasan yang diajukan mulai dari belum menemukan pasangan yang cocok, merasa mapan dengan hidupnya, hingga sibuk dengan urusan karirnya. Ratih menyebutkan, bahwa hal tersebut sah-sah saja, selama orang tersebut merasa enjoy melakukannya, dan tidak merasa terpaksa menjalaninya.
Lajang sebagai pilihan hidup
Meskipun hidup single, namun bukan berarti seseorang tidak bisa bahagia. Karena pada dasarnya, kebahagiaan adalah sebuah pilihan hidup seseorang.
Menurut Ratih, menjadi seorang single yang bahagia, terutama harus memahami kunci utama dari kebahagiaan yang tergantung pada diri mereka sendiri.
“Kebahagiaan itu tergantung dari cara berfikir, menalar, menelaah, dan mempersepsi segala sesuatu, serta selalu berpikir positif,” ujar Ratih.
Beberapa kunci yang harus dipegang si single ini antaralain memberi makna pada hidup, dengan menentukan tujuan hidupnya. Kunci selanjutnya adalah bersikap realistis, sehingga bisa menerima keadaan apapun yang dihadapinya.
Kunci yang terakhir menurut Ratih adalah memiliki selera humor yang tinggi, bisa membuat Anda melupakan masalah Anda dan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dalam hidup Anda. Dan jangan lupa untuk selalu bersyukur dengan apa yang Anda miliki saat ini.
Lajang sebagai penghindar perceraian
Dengan kondisi tradisi yang masih kuat dengan stigma pernikahan diusia 25 tahunan, banyak orang yang akhirnya merasa takut hidup melajang karena khawatir dengan cibiran orang.
Hingga pada akhirnya banyak orang yang kemudian terpaksa menikah untuk menghindari omongan orang. Bahkan, mereka yang biasanya memiliki standar baku dalam memilih pasangan hidupnya, lantas terpaksa memilih secara sembarang asalkan bisa mendapatkan pasangan demi membungkam omongan orang.
Padahal dengan keputusan ini, maka dia telah membuka masalah baru yakni dihadapkan pada perkawinan beresiko besar menghadapi perceraian. Jadi, pilihan melajang menjadi hal positif ketika bisa menghindarkan Anda dari kemungkinan perceraian karena berada dalam perkawinan yang tidak dilandasi dengan cinta kasih.

Delapan kunci menjadi lajang bahagia
1. Fokus pada hal-hal yang positif pada diri Anda.
2. Menyibukkan diri dengan kegiatan keseharian Anda
3. Lakukan kegiatan yang berkaitan dengan hobi Anda, terutama hobi yang mengembangkan diri Anda menjadi individu yang lebih baik
4. Membaca, untuk mengembangkan wawasan, sekaligus memberikan waktu Anda memanjakan diri
5. Mendengarkan musik favorit untuk membangun mood dan membuat hidup tidak sepi
6. Merawat diri dengan menjaga kebersihan, kesehatan, dan kebugaran tubuh. Makanlah dengan baik, dan manjakan diri Anda dengan merawat diri di salon sesekali.
7. Bergaullah! Hubungi dan kunjungi keluarga dan teman-teman lamamu. Dan jangan takut menjalin hubungan dengan teman-teman baru.
8. Don’t forget to have fun. Dalam sehari beri kesempatan bagi dirimu sendiri untuk rileks dan menjadi gembira. Jangan ragu-ragu sesekali melakukan hal konyol bersama teman-teman. Yang terpenting jangan lupa bergembira dan tertawalah untuk menghibur diri Anda.

televisi oh televisi

Pengaruh buruk televisi pada perkembangan budaya dan pola pikir masyarakat sudah tak lagi bisa ditolerir. Bahkan program yang diperuntukkan untuk anakpun, seolah bukan lagi bisa jadi acuan anak untuk memperoleh pengetahuan yang mampu menjadikannya pribadi yang kuat dan memiliki pola pikir yang masuk akal.
Makin minimnya program acara khusus untuk anak-anak yang menyajikan pengetahuan murni seolah menambah makin tak berbobotnya dunia pertelevisian kita saat ini.

Bahkan kini anak-anakpun tak lagi memiliki lagu-lagu khas bocah cilik yang dulu sering ditampilkan televisi melalui beragam acaranya. Tak ada lagi lantunan lagu-lagu karya pak kasur dan bu kasur diperdengarkan. Tak ada lagi Melissa kecil, Joshua kecil, ataupun trio kwek-kwek yang dulu jadi idola para bocah cilik.
Anak-anak mulai berbaur dengan kaum gruppies yang lantas memaksa mereka dewasa melalui telinga dan mata, secara audio dan visual.
Meski awalnya aku bersikap tak perduli, namun kini mulai terusik ketika keponakan kecilku mulai terpengaruh sisi buruk dari televisi. Atau tepatnya ia menjadi paranoid akibat tayangan televisi. Bayangkan saja, anak sekecil dia takut bukan main pada petugas penyemprot nyamuk demam berdarah. Sungguh sesuatu hal yang tidak masuk akal.
Ketika tahu hari ini akan ada program penyemprotan nyamuk dia panik bukan main. Seluruh tubuhnya gemetar, bibirnya pucat, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia histeris meminta agar petugas tidak mendatangi rumah, dan meminta dibawa jauh dari rumah untuk menghindari petugas tersebut.
Awalnya kupikir ketakutannya bermula dari suara mesin penyemprot yang luarbiasa kencang, atau bau zat kimia didalamnya yang memang membuat hidung nyeri itu. Namun ketika kutanya alasannya, dia mengatakan hal yang bikin aku kecewa luarbiasa. "Aku takut kena semprotan nyamuk, nanti kaya di film si entong, yang kena semprotan jadi nyamuk."Bayangkan, mengapa hal ini bisa terjadi? Bisa dibayangkan betapa
pengaruh televisi telah merasuki pikiran dan bahkan psikologisnya. Sebagai individu kekecewaan berat jelas terasa dengan kondisi media yang saat ini tidak bersahabat dan tidak berusaha mengakrabi generasi anak-anak. Apalagi mengingat kenyataan bahwa saat ini hampir semua jenis media massa terutama televisi lebih peduli pada rating dan pemasukan iklan dibandingkan dengan content dan pengaruhnya pada audiensnya. Alih-alih persaingan&usaha bertahan hidup seolah menjadi hal yang mampu menghalalkan
sekaligus mengorbankan pola pikir sekaligus budaya konsumennya. Kalau sudah begini, tampaknya kita telah menjadi bangsa yang maju dalam segi teknologi sekaligus bangsa yang mundur dari segi budaya dan juga karakter bangsa.