Wednesday, September 19, 2007

Menjelajahi rumah kelelawar

Pernah membayangkan berada dalam gelapnya gua, dengan hanya ditemani sinar lampu senter dan juga suara kelelawar yang menakutkan? Meski cukup menegangkan, namun ternyata bergumul dalam kegelapan gua banyak diminati para pencinta alam yang ingin mencoba hal baru selain mendaki gunung ataupun memanjat tebing.

Salah satunya adalah Cahyo Rahmadi. Staf ahli peneliti di pusat penelitian biologi LIPI Cibinong ini, bahkan menjadi seorang peneliti karena hobinya menjelajahi goa.
Menurut dia, caving adalah pekerjaan sekaligus hobi yang bisa menjadi candu dan melepaskan stres sekaligus.
Sejak tahun 1996 Cahyo bergabung MATALABIOGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Biologi UGM), sekedar untuk petulangan saja. Lambat laun aktifitasnya itu membuat dia semakin menyukai alam goa dan mulai mempelajari teknik caving mulai dari Single Rope Technique (SRT), rescue vertical, mapping sebagai modal dasar untuk mendukung kegiatan penelitiannya di gua.
Banyak hal yang membuat Cahyo menjadi addict pada hobi cavingnya. Mulai dari pengenalannya dengan kehidupan hewan gua, hingga keindahan ornamennya. “Terutama tantangannya dimana kita harus pandai manjat, bisa berenang, bisa mendaki gunung, bisa orientasi medan, bisa peta kompas, sampai menyelam semua ada di caving. Itulah yang bikin saya ketagihan,” ujar Cahyo yang mengaku bisa melupakan segala masalahnya dan merasa reborn setelah merasakan gelap, dingin, lembab serta suara tetesan air dalam gua itu.
Sementara itu, caver lainnya Sulasatama Raharja geologis di PT. Chevron Pasifik Indonesia (dulu PT Caltex Indonesia) mengatakan bahwa caving memberikannya pengalaman religius serta pemahaman untuk mengukur sejauh mana kemampuan yang dimilikinya. “Dari caving saya banyak belajar tentang hidup dan juga bisa mengukur sejauh mana kemampuan saya,” ujar dia.
Dia juga menyebutkan dengan pengalaman caving yang kini telah ditinggalkannya sejak tahun 2000 lalu itu telah memberikannya banyak pelajaran untuk menjadi lebih mandiri, berjiwa sosial tinggi, mampu beradaptasi dengan cepat, dan mampu menjadi quick decision maker disaat menghadapi kondisi yang tak terduga.
Menjelajah hingga negeri orang
Wilayah jangkau para caver mania ini, bukan semata hanya didalam negeri saja. Bahkan gua di negeri orang pun tak luput dari jamahan mereka. seperti yang diungkapkan Cahyo yang telah menjelajahi ratusan gua baik dalam dan luar negeri seperti mulai gua di Thailand, Sarawak, dan hampir semua karst di Jawa telah dikunjunginya, termasuk juga wilayah Sulawesi dan Papua.
Baginya pengalaman caving paling berkesan adalah ketika menjelajahi gua terpanjang di Maros (SULSEL) dan harus mengarungi sungai bawah tanah yang dalam airnya tidak diketahui lebarnya dan panjangnya berkilo-kilo serta harus mendayung menggunakan tangan.
Sebagai olahraga sekaligus hobi yang menantang maut, maka para caver ini haruslah terus waspada selama bercaving ria. Beragam peralatan haruslah mereka miliki sebelum memasuki wilayah tujuan, seperti helm dengan penerangan, sepatu boot khusus, baju mudah kering (cover all), senter kedap air, perahu karet, single rope tali khusus sejenis webbing atau karmantel seharga Rp.3,5 juta, dan makanan yang berenergi tinggi seperti gula merah. “Yang terpenting adalah kita harus memiliki etika bercaving yaitu take nothing but pictures, kill nothing but time, leave nothing but footprints, dan cave softly,” jelas Cahyo.
Selain itu, menurut dia caver pemula harus memiliki pengetahuan dasar bagaimana menelusuri gua horisontal yang aman (jangan pernah masuk gua dimusim penghujan), mengetahui karakteristik gua yang memiliki kedalaman dan panjang yang berbeda dan lingkungannya di luarnya, tali-menali (simpul), Teknik penelusuran vertikal dengan SRT, dasar-dasar vertical rescue (Self Rescue) maupun rescue terpadu.
Pengetahuan tersebut, menurut Cahyo diperuntukkan menghindari resiko kecelakaan yang kemungkinan besar bisa terjadi. Di Indonesia sendiri, menurut Cahyo banyak kejadian kecelakaan hingga meninggal dunia ketika aktifitas caving dilakukan. Kebanyakan, kasus tersebut terjadi karena kebanjiran seperti kasus di Tasikmalaya, Malang Selatan dan Gua Gudawang beberapa tahun yang lalu, selain itu karena jatuh dari tali bisa karena human error maupun faktor alam, atau karena kejatuhan batu sperti di Gua Grubuk beberapa tahun lalu.
Salah satu hal yang paling ditakuti para caver adalah datangnya banjir yang mendadak, yang membuat mereka kesulitan mencari tempat berlindung. Untuk mengantisipasinya biasanya harus diketahui batas garis bekas rendaman air yang biasanya ada didinding gua. Begitu pula dengan sampah yang biasanya kerap tersangkut di dalam gua.
Selain banjir yang perlu diwaspadai adalah kecelakaan. Patah tulang karena terjatuh atau cedera tubuh biasanya menjadi risiko yang harus dihadapi para petualang gua ini. Dalam gua biasanya dapat dijumpai ular kobra, kalajengking, dan ikan lele. Namun, hewan-hewan itu umumnya hanya berada di seputar mulut gua.
Umumnya, para caver memiliki komunitas atau klub sendiri untuk ajang kumpul-kumpul saat diluar jelajah, ataupun sebagai teman saat berjelajah. Beberapa komunitas yang ada ditanah air saat ini adalah subterra community, HIKESPI (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia), ataupun forum karst Gunung Sewu sebagai wadah untuk membahas penelitian tentang gua itu sendiri.
Diajang inilah biasanya mereka juga membahas tentang menjaga kelestarian gua, dan juga upaya menjadikan gua sebagai tempat tujuan wisata.