Tuesday, September 18, 2007

Bersepeda di kota tua Jakarta

Masuk ke kawasan kota tua Jakarta (Jewel of the East), seolah kita masuk ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda, dengan kota Jakarta yang biasa kita lihat. Tidak lagi nampak gedung-gedung yang menjulang tinggi, namun yang ada hanyalah deretan bangunan-bangunan tua bersejarah yang bisa membuat kita bisa membayangkan bagaimana wajah Jakarta dimasa lalu. Dengan ciri jendela-jendela dan pintu-pintu berukuran besar, gedung-gedung yang mulai terlihat kusam dan tak terurus itu, masih terlihat angkuh berdiri seolah menantang gedung-gedung megah dibelahan Jakarta lainnya.

Dengan menaiki ojeg sepeda kian menambah lengkapnya nostalgia, akan Jakarta tempo dulu. Melewati rute kawasan kota tua Jakarta ini, kita terus disuguhkan dengan gedung-gedung peninggalan abad ke 18. Dengan start dari museum Bank Mandiri dengan gaya neo classicnya, perjalanan langsung menuju kawasan jalan kali besar. Setiba di pinggir Kali Besar (The Groote Kanaal) hilir Kali Ciliwung, yang langsung menarik mata adalah jajaran bangunan dari abad 18 yang berada disepanjang jalan Kali Besar. Dulu, kawasan ini merupakan pusat dari benteng Kota Batavia, yang sempat jaya pada abad 17 dan 18.
Di Kali besar inilah berdiri Toko Merah. Rumah gaya Tiongkok yang terbuat dari bata merah yang dibuat 1730 ini, dulu adalah kediaman Gubernur Jenderal VOC Baton Van Imhoff. Ditempat itu pula konon, ditanda tangani perjanjian Giyanti yang memisahkan wilayah Jogja dan Solo. Bangunan inipun sempat menjadi Akademi maritim tertua di Indonesia.
Belok dari Kali Besar, kita langsung menuju Gudang Timur, yang berada dikawasan jalan Tongkol, Jakarta Utara. Gudang ini, merupakan bangunan bekas gudang timur VOC (Oostzydsche Pakhuizen atau Graanpakhuizen). Dulunya, merupakan tempat penyimpanan gudang rempah-rempah dan biji-bijian yang akan di bawa ke Amsterdam.
Kondisinya saat ini, amatlah memprihatinkan. Bangunan-bangunan yang dulu sekokoh beton, kini hanya tinggal bangunan tua yang sudah sebagian keropos dimakan waktu. Bangunan yang kini dimiliki TNI AD itu, kini disewakan kepada swasta dan dijadikan untuk gudang dan bengkel truk-truk besar pengangkut barang.
Meninggalkan Gudang Timur, perjalanan diteruskan menuju Museum Bahari yang berlokasi di Jalan Pasar Ikan No. 1. Bangunan museum ini, pada masa penduduan Jepang dipakai sebagai tempat menyimpan barang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, bangunan ini dipakai oleh PLN dan PTT untuk gudang. Tahun 1976 bangunan cagar budaya ini dipugar, dan kemudian pada 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.
Di Museum ini, kita bisa melihat koleksi berbagai jenis perahu klasik nusantara, dan kapal zaman VOC. Selain itu disajikan pula perlengkapan penunjang pelayaran (alat navigasi, jangkar, teropong, model mercusuar dan aneka meriam), juga koleksi biota laut, data-data jenis dan sebaran ikan di perairan Indonesia, tehnologi pembuatan perahu tradisional serta folklor adat istiadat masyarakat nelayan nusantara.
Beralih dari museum Bahari, perjalanan diteruskan ke menara Syahbandar tempat dimana ojeg sepeda yang membawa kami parkir. Pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan.
Diatas menara Syahbandar inilah, tempat dimana para penjaga laut mengamati aktifitas pelabuhan di Sunda Kelapa diera Batavia dulu. Anda harus berhati-hati saat menaiki menara yang satu ini. karena usianya yang sudah cukup usang, menara yang keseluruhan tangganya terbuat dari kayu ini, agak sedikit rapuh untuk ditapaki. Namun, saat berada diatas menara ini, pemandangan hampir seluruh wilayah Jakarta Utara tampak didepan mata, terutama deretan kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Puas menikmati wilayah Jakarta Kota dari atas menara Syahbandar, perjalanan kembali dilanjutkan menuju jembatan kota Intan. Jembatan tua peninggalan Belanda ini dibangun tahun 1628, menghubungkan sisi Timur dan Barat Kota Intan di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Utara. Saat masih dioperasikan, jembatan yang hampir keseluruhannya terbuat dari kayu ini, dilengkapi dengan semacam pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan.
Jembatan ini pernah 5 kali berganti nama. Seusai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, jembatan dinamai Jembatan Inggris (Engeise Brug. Nama itu lalu diubah menjadi Jembatan Pusat, sebelum akhirnya berubah nama menjadi Jembatan pasar ayam pada tahun 1900, karena adanya pasar ayam di sisi jembatan.
Pada masa pemerintahan Ratu Juliana tahun 1938, jembatan direnovasi dan namanya diubah menjadi Jembatan Ratu Juliana (Ophaalsburg Juliana). Nama jembatan Kota Intan sendiri, dipakai karena adanya kastil Batavia bernama "Diamond". Pada masa orde baru, jembatan tersebut dipugar dan dibuat permanent sehingga tidak bisa lagi dijungkitkan.
Akhirnya perjalanan berakhir di museum Fatahillah. Museum yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung yang dibangun pada tahun 1707-1710 ini, dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota. Baru pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah atau yang biasa dikenal masyarakat sebagai museum Jakarta. Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, serta hasil penggalian arkeologi di Jakarta, berupa mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Cina, dan Indonesia. Selain itu, ditempat ini juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
Menurut salah seorang peserta Amalia Yunita, kegiatan ini sangat menarik untuk diikuti, demi kebutuhan kedua putra-putrinya yang ikut dalam acara tersebut. “Bagi saya ini merupakan acara yang sangat bagus, untuk memberikan pembekalan sejarah pada anak-anak, mengenai sejarah Jakarta. Saya yang biasanya mengajak anak saya keliling mall, atau keluar daerah, kini memilih untuk mengajak mereka bermain sambil belajar melalui program ini,” tutur CEO PT Lintas Jeram Nusantara ini.
Mengenal dan menghargai sejarah
Banyak warga Jakarta yang sengaja menelusuri berbagai daerah untuk refreshing. Akhirnya mereka terkadang melupakan bahwa di Jakarta banyak juga wilayah yang bisa digunakan sebagai alternative wisata seperti kota tua Jakarta ini.
Untuk bisa mengelilingi kota tua Jakarta inipun tidak diperlukan biaya yang besar. Cukup dengan menyewa ojeg sepeda, yang bisa ditemui disepanjang stasiun Kota, ataupun didepan museum Mandiri. Atau Anda juga bisa ikut dalam program Tempo Doeloe yang diadakan oleh tim Sahabat Museum. Dengan hanya biaya sebesar Rp.75 ribu saja, Anda sudah bisa menikmati kota Tua Jakarta dengan berkeliling mengendarai ojeg sepeda. Dengan biaya tersebut, Anda sudah bisa mengenal sejarah kota tua Jakarta di era 18 lalu, selama satu hari penuh saja.
Menurut ketua Sahabat Museum Ade Purnama, sebagai penyelenggara program keliling Jakarta Tempo Doeloe, program ini bertujuan memberitahukan pada masyarakat Jakarta mengenai gedung bersejarah di Jakarta yang layak dijadikan alternatif obyek wisata. Mengenai alur Jakarta Kota Tua tersebut, menurut Ade bangunan-bangunan bersejarah yang mereka bidik kali ini, adalah bangunan-bangunan peninggalan abad ke 18.
Ade juga mengatakan, bahwa dari sekitar 150 peserta yang hadir dalam program tersebut, tampak antusiasme mereka dalam menjelajahi bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Apalagi peserta yang ikut, bukan hanya dari kalangan dewasa saja, namun juga kalangan anak-anak dan anak muda yang memang menjadi bidikan dari program tersebut. “Kami memang sengaja membidik anak-anak muda, agar mereka bisa mengenal sejarah, sekaligus bisa menghargai sejarah tempat dimana mereka tinggal,” tandas Ade yang berupaya merubah mall hanya menjadi alternative utama bagi anak muda Jakarta untuk refreshing itu.
Panitia-panitia yang ikut terlibat dalam program PTD ini sendiri, menurut Ade adalah para sukarelawan yang dulunya adalah para peserta sahabat museum juga. “Mereka secara sukarela dan senang hati mau ikut membantu terciptanya acara ini,” tambah Ade yang menyebutkan bahwa persiapan dalam melaksanakan program ini memakan waktu selama kurang lebih dua minggu itu.
Lebih lanjut Ade mengatakan, bahwa program dari Sahabat Museum memang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan mengenal sejarah bangsa dari seluruh wilayah Indonesia.
Terancamnya Sebuah Monumen Bersejarah
Dari sekian banyaknya monument bersejarah yang berada di kota tua Jakarta, Ostzydsche Pakhuizen atau Gudang Bagian Timur adalah bangunan yang terancam akan punah. Gedung yang merupakan peninggalan sejarah dan budaya yang sangat langka ini, merupakan bagian dari tembok kota dan benteng Jakarta Lama. Bangunan ini, adalah salah satu peninggalan sejarah yang masih ada di Asia Tenggara, yang bahkan tidak dimiliki di Ibukota negara lain seperti Singapura, Kuala Lumpur, bahkan New York.
Bangunan yang dibangun pada abad ke-18 ini, dahulu bernama Graanpakhuizen atau “gudang gandum”. Pada saat awal berdiri, terdapat empat gudang, namun yang tersisa kini, hanyalah satu gudang, sedangkan yang lain hanya tinggal puing-puing saja.
Pada masa pendudukan Belanda, Oostzydsche Pakhuizen digunakan untuk menyimpan bahan makanan untuk perbekalan kapal-kapal VOC selama lebih dari dua ratus tahun. Tahun 1995, dua gudang tertua itu dirubuhkan untuk pembangunan jalan tol dalam kota. Yang tersisa sekarang hanya keadaan gudang yang menyedihkan. Sisa gudang semakin hancur, runtuhannya dijual di loakan oleh warga setempat. Tidak hanya itu, mereka pun berusaha menghancurkan bangunan tersebut. Hingga detik ini juga, masih tersisa beberapa bagian dari tembok kota Jakarta Lama di sebelah timur laut gudang. Ironisnya, tembok kota ini sekarang digunakan oleh warga setempat untuk menjemur pakaian.
Jika bangunan bersejarah sisa peninggalan VOC ini dirubuhkan, maka habislah sudah tempat-tempat bersejarah dalam tembok kota Jakarta Lama. Sayang sekali jika bangunan seperti ini dibiarkan hancur begitu saja, sedangkan seharusnya kita bisa membangunnya kembali dengan tujuan pelestarian. Tidak tertutup kemungkinan jika nantinya tempat ini dapat dijadikan daerah pariwisata, yang dapat mendatangkan pendapatan bagi pemerintah daerah pada khususnya dan negara pada umumnya. Sebagai contoh, dapat kita lihat Westzydsche Pakhuizen atau sekarang Museum Bahari, yang sampai saat ini kondisinya masih sangat terawat.