Saturday, June 10, 2006

really touching story (karena cerita ini, saya jadi lebih menghargai persaudaraan, persahabatan, dan makin mencintai keluarga dan sahabatku)



Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yangmencintaiku lebih daripada aku mencintainya. Suatu ketika, untukmembeli sebuah sapu tangan yang manasemua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri limapuluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuatadikku dan aku berlutut didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yangmencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untukberbicara. Ayah tidakmendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalaubegitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itutingi-tinggi. Tiba-tiba,adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliaukehabisan napas.Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apalagi yang akan kamu lakukan dimasa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.

Dipertengahan malam itu, saya tiba-tibamulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangankecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanyasudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memilikicukup keberanian untuk maju mengaku.Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatanseperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketikaia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ialulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, sayaditerima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kitamemberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusapair matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimanamungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membacabanyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku padawajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akanmenyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian iamengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Akumenjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yangmembengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskansekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurangkemiskinanini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan keuniversitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikkumeninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikitkacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku danmeninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk keuniversitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja danmengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahkupinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan darimengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnyasampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku,ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang pendudukdusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusunmencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruhbadannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akanmereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidakakan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapudebu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,"Aku tidak perduli omongan siapa pun!Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana punpenampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semuagadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku kedalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahunitu, ia berusia 20. Aku 23.Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecahtelah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarkupulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidakperlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awaluntuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka padatangannya? Ia terlukaketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangankecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasamenusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalutlukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya."Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasikonstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itutidak menghentikanku bekerja dan."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhkumemunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggaldi kota. Banyak kalisuamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggalbersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan,sekali meninggalkan dusun, mereka tidakakan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,"Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikkumendapatkan pekerjaan sebagai manajer padadepartemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Iabersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuahkabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.Suamiku dan aku pergi menjenguknya.Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamumenolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukansesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yangbegitu serius. Mengapa kamu tidakmau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius padawajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru sajajadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadimanajer seperti itu, berita seperti apa yang akandikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluarkata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan jugakarena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggamtanganku.Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketikaia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acarapernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapayang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir iamenjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuahkisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD,ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan sayaberjalan selama dua jam untuk pergi kesekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu darisarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanyamemakai satu saja dan berjalansejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetarankarena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegangsumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkanperhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.