Monday, September 22, 2008

menunggu datangnya si ular besi


Bis itu melaju tanpa henti, ketika ratusan kendaraan disampingnya mengantre dalam kepadatan lalu lintas. Hampir sebagian penumpang didalamnya menarik nafas seolah bersyukur berada disana ketimbang dimobil mewah yang terimbas macet hingga puluhan meter itu.

Yah, ratusan penumpang busway lainnya mungkin juga ikut bersyukur setiap harinya bisa lepas dari kemacetan yang menjadi sumber kepanikan kala beraktifitas. Sejak dirintis beberapa tahun lalu, busway memang menjadi salah satu pola transportasi makro di Jakarta yang dirancang mengurai benang kusut kemacetan Ibukota.

Bersama busway, tiga sarana transportasi lainnya ikut dipersiapkan Pemprov DKI Jakarta dalam konsep PTM itu yakni Light Rail Transit (LRT) atau monorel, Mass Rapid Transit (MRT) atau subway, dan transportasi sungai (waterway). Keempatnya, ditarget dapat terintegrasi mulai 2012.


Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, masalah kemacetan di Jakarta baru dapat diatasi apabila keempat pola transportasi makro yang melintasi kawasan bisnis Jakarta itu, telah berfungsi secara keseluruhan dan terintegrasi dengan baik.

Sayangnya, dari empat pola transportasi makro yang direncanakan, baru busway yang terealisasi pelaksanaannya. Sementara yang lain terpaksa terkatung-katung atau berhenti sama sekali akibat terbatasnya dana atau raibnya investor tanpa alasan yang tak jelas muaranya.

Adanya busway pun bisa jadi sebuah keberuntungan ditengah keterbatasan. Pasalnya, dari empat transportasi yang direncanakan, hanya pola transportasi darat inilah yang mampu direalisasikan Pemprov DKI sesuai kondisi infrastruktur dan kemampuan keuangannya.

Penuntasannya pun belumlah usai. Dari 16 koridor yang direncanakan, baru tujuh busway yang terealisasi, sedangkan tiga koridor lainnya ditarget rampung akhir tahun ini. Dari segi pendanaan Pemprov bukan tidak keteteran. Pasalnya, selama ini busway masih disubsidi APBD Rp8.000 per karcis dari harga jual konsumen Rp3.500 guna menutupi biaya produksi Rp10.500.

Belakangan muncul konflik baru antara Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta, dengan konsorsium busway sebagai pengelola terkait nilai pembayaran perbedaan pendapat atas nilai rupiah per kilometer operasionalisasi busway. “Pembayaran tagihan operator juga beberapa kali terlambat karena APBD yang belum turun,” ungkap Kepala BLU Drajat Adhyaksa.

Masalah lain muncul antara Pemprov DKI dengan Petross Gas selaku penyedia bahan bakar gas busway ketika merasa hak kontraknya dilangkahi. Atas kasus itu, Pemprov dituntut pembayaran uang senilai Rp15 miliar atas kerugian yang dialami Petross Gas selama terikat kontrak. Tapi, hingga kini kedua masalah itu belum menemukan jawab yang pasti.

Sementara perkembangan baru muncul dari proyek MRT, yang perda pembentukan perusahaan pengelolanya baru diketok DPRD DKI 9 Juni lalu. Sedikit melangkah, proyek ini diharapkan menjadi transportasi modern kedua yang ada setelah busway.

Untuk kebutuhan dana Rp10,26 triliun, DKI juga sudah mendapat jaminan sumber pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar Rp8,36 triliun. Sedangkan sisanya berasal dari penyertaan modal pemerintah pusat Rp1,25 triliun, dan penyertaan modal pemprov Rp0,65 triliun.

Dari total pinjaman JBIC, sekitar Rp163 miliar telah dikucurkan pada pemerintah pusat, sementara sisanya akan dikucurkan setelah perjanjian pinjaman tahap kedua ditandatangani Juni 2008, serta PT MRT terbentuk.

Kini, Pemprov DKI tengah menyusun susunan direksi sementara PT MRT dan membebaskan lahan sepanjang Lebak Bulus Dukuh Atas untuk pembangunan infrastrukturnya yang ditarget dimulai Maret 2009.

Namun, mewujudkan subway bukanlah langkah yang mudah. Untuk merealisaikannya, APBD DKI jadi taruhannya. Setidaknya, hingga 2048, resiko tekanan kas akan terus menggerogoti APBD DKI.

Kewajiban nonutang yang akan menggerus APBD itu diperkirakan Rp1,82 triliun, yang terbagi sejak masa pembangunan (2008-2015), masa awal operasi (2016-2018), masa stabil (2019-2025), dan masa pengembangan (2026-2048).

Untuk kewajiban utang, Pemprov DKI akan terbebani utang Rp4,81 triliun dan beban bunga 0,9% atau Rp1,02 triliun. Kewajiban tersebut setidaknya akan membebani APBD DKI dalam kurun paling sedikit 30 tahun.

Masalah inilah yang lantas membuat mayoritas fraksi di DPRD menunda pengesahan perda PT MRT selama lebih dari dua bulan. Sekretaris Komisi B Nurmansjah Lubis (F-PKS) mengatakan Pemprov DKI perlu menjelaskan beban utang yang dialami APBD dan meminta persetujuan pinjaman tersebut. “Sejak mengajukan pinjaman beberapa tahun lalu, kami belum pernah dimintai persetujuan,” demikian alasan Nurmansjah.

Namun sekukuh DPRD, Fauzi Bowo pun tak kalah kukuh. Dia menegaskan, MRT merupakan salah satu transportasi yang wajib dimiliki warga Jakarta jika tidak ingin mengalami stagnasi lalu lintas dimasa datang. Pasalnya, kata dia, sistem transportasi masal di DKI akan diarahkan pada sistem rel kereta api yang merupakan satu-satunya transportasi masal yang mampu membawa penumpang dalam jumlah yang besar. Kemenanganpun ada ditangan Fauzi Bowo setelah palu pengesahan perdapun sah diketok.

Jika daftar masalah tersebut tuntas, maka lintasan subway MRT akan segera berdiri sepanjang 14,3 km Lebak Bulus-Dukuh Atas dengan 9 stasiun layang (Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, Sisingamangaraja, dan Senayan), serta tiga stasiun bawah tanah (Bendungan Hilir, Setiabudi, dan Dukuh Atas).

Meski mengalami konflik yang cukup mengganggu, toh nasib busway dan subway tidak seburuk monorel yang terjungkal ditengah jalan. Proyek yang diresmikan sejak Juni 2004 silam oleh mantan Presiden Megawati Sukarnoputri itu hingga kini hanya menyisakan tiang pancang di kawasan Asia Afrika yang mulai karat dimakan usia. Padahal, sejak awal monorel disebut-sebut bisa dinikmati warga Jakarta per 2006 lalu.

Persoalan terkendalanya proyek bernilai US$630 juta atau sekitar US$23,3 juta per km untuk total 27 km lintasan itu, muncul setelah PT Jakarta Monorel yang ditunjuk sebagai konsorsium pelaksana proyek MRT menyerah dalam pendanaan.

Meski didukung keuangan yang cukup besar dengan kepemilikan PT Indonesia Transit Central dan The Omnico Consortium (Singapura) dengan kepemilikan masing-masing, penolakan Dubai Islamic Bank (DIB) dalam pendanaan, membuat perusahaan pimpinan Sukmawati Syukur itupun urung langkah.

Akibatnya, proyek dua jalur Green Line dan Blue Line itu, tersendat selama hampir empat tahun terakhir. Belakangan, karena sudah tidak mampu lagi mencari pendanaan PT JM menyerahkan pengelolaan pada Pemprov DKI Jakarta. “Kami serahkan semuanya pada Gubernur untuk memutuskan proyek ini,” ujar Sukmawati setelah terancam kontraknya dengan DKI terputus akibat ketidakmampuannya mewujudkan proyek tersebut.

Meski sempat menolak, Fauzi Bowo mau tak mau harus mengambil alih. Untungnya, angin segar datang setelah Menko Perekonomian melayangkan surat yang menyatakan pemerintah pusat akan menggiring proyek monorel hingga tuntas, dengan keterlibatan dari Dephub, Depkeu, Bappenas, dan Menko serta Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI).

Kini, Pemprov didapuk menghitung ulang kebutuhan proyek dan mencari investor baru, setelah akhir Mei 2008 Bank Dunia menolak mentah-mentah proyek yang dianggap merugi oleh Fauzi Bowo.

Perhitungan baru dari beberapa versi muncul saat ini, Bappenas yang memasukan proyek ini dalam daftar proyek 70 infrastruktur 2006-2009 menyebutkan biaya proyek monorel sebesar US$650 juta, sedangkan DIB berhitung US$525 juta. Yang paling fantastis adalah perhitungan versi Bank Dunia yang menyebutkan proyek monorel bakal menelan biaya US$800 juta.

Setali tiga uang dengan monorel, proyek angkutan sungai waterway harus cukup puas dengan uji coba yang diresmikan penggunaannya oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada tanggal 6 Juni 2007. Hingga kini, perahu modern itupun urung berlayar. “Saya belum tahu kapan dioperasionalkan,” terang Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono.

Untuk proyek ini, Pemprov DKI Jakarta telah menggelontorkan dana sebesar Rp8 miliar untuk pengerukan sungai di tujuh titik sepanjang alur Banjir Kanal Barat (BKB), pada Oktober 2006.

Berdasarkan skema, waterway akan melintas sepanjang 1,7 km melintasi kawasan Halimun, Stasiun KA Dukuh Atas, KH. Mas Mansyur dan berakhir di Pintu Air Karet Tanah Abang. Pengoperasiannya memanfaatkan Banjir Kanal Timur (BKT), Banjir Kanal Barat (BKB), menyambung BKT dan BKB, dan menormalisasi kali-kali yang ada.

Pola inipun sejalan dengan konsep waterfront city untuk mendorong pengembangan pariwisata air di Kota Jakarta. Dari empat transportasi yang ada, waterway juga menjadi transportasi termurah yakni Rp1.500 per penumpang. Selain itu, konsep transportasi ini juga disebutkan lebih ramah lingkungan, serta mampu mengurangi budaya membuang sampah sembarangan dan menghilangkan pemukiman liar disepanjang sungai.

Meski proyek itu belum terealisasi, Kepala DPU DKI Wishnu Subagyo mengatakan jika proyek waterway berjalan, maka transportasi ini berpotensi dilanjutkan sampai ke Muara Angke, dengan lintasan Jembatan Pesing sampai Muara Angke.

Minggu sore, di dermaga Karet, dua unit kapal berwarna putih berkapasitas 28 orang siap berlayar menuju senja di Halimun. Sementara di ujung Kampung Melayu sana, ratusan pegawai antre menggesek kartu elektronik berbayar sebelum menaiki monorel, ketika puluhan pencinta Persija berhamburan dari stasiun subway Dukuh Atas selepas menyaksikan klub kesayangannya berlaga di Stadion Lebak Bulus. Minggu sore, disuatu ketika.