Thursday, September 18, 2008

Jakarta kota budaya macet


Sepanjang lima tahun terakhir menjadi imigran di Jakarta, ada beberapa budaya yang saya pandang identik dengan Jakarta, ondel-ondel, lenong, si pitung, kerak telor, dan macet. Untuk yang terakhir ini, tampaknya kini justru menjadi budaya yang paling nempel dibenak warga Jakarta dibandingkan budaya lainnya yang habis terkikis zaman.

Betapa tidak, hampir semua titik lalu lintas di Jakarta saat ini akrab dengan kemacetan. Mulai dari jalur lalu lintas utama sepanjang Sudirman Thamrin, hingga jalan tikuspun tak luput dari benang kusut kemacetan.

Kenyataan itu diperkuat dengan data Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik simpang rawan macet di Jakarta dengan definisi rawan macet yakni arus tidak stabil, kecepatan rendah serta antrean panjang.

Ada beberapa hal yang kemudian menjadi kambing hitam terjadinya macet, pertama ketimpangan antara jumlah kendaraan dengan jumlah jalan yang berbanding 10:5%.

Hingga akhir 2007, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta kurang lebih 5,7 juta unit, dengan 98% merupakan kendaraan pribadi, dan 2% sisanya kendaraan umum. Sementara panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dengan luas jalan 40,1 km2, dan pertumbuhan panjang jalan 0,01% per tahun.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan jumlah kendaraan pribadi di jalan Jakarta yang mencapai 700.000 unit setiap harinya, menjadi sumber utama kemacetan.
Selain itu, dibandingkan kota-kota lainnya Jakarta merupakan kota tercepat dalam pertumbuhan jumlah kendaraan sebesar 11% dengan dominasi kendaraan roda dua.

Padahal, kata dia, sarana jalan di Jakarta yang hanya 7% dari luas seluruh wilayahnya dengan sistem satu lapis, tentu saja tidak mampu menampung jumlah kendaraan tersebut dalam waktu bersamaan. Akhirnya, di jam-jam sibuk, kemacetan diberbagai ruas jalan sulit dikendalikan.

Dibandingkan dengan kota Tokyo yang memiliki luas jalan mencapai 17% dari total area wilayahnya, dengan konsep lima lapis jalan. Jadi, dapat dibayangkan berapa tahun lagi lalu lintas Jakarta akan seperti ibukota Jepang itu. “Kondisi ini menambah komplikasi sistem pengendalian yang kita lakukan,” ujar Fauzi Bowo.

Selain warga Jakarta, kemacetan diperparah oleh para pelaju dari kota sekitar Jakarta yang bekerja di Jakarta setiap harinya. Tahun lalu, diperkirakan sekitar 600.000 kendaraan komuter dari Bodetabek masuk ke Jakarta setiap harinya dan ikut memadati jalan-jalan di Ibukota.

Masalah kedua muncul akibat mandeknya beberapa proyek konstruksi yang ada di jalan. Khusus Jakarta, proyek pembangunan infrastruktur yang sering menyebabkan kemacetan yakni pembangunan aksesibilitas utilitas seperti fly over, galian dan pembangunan sarana transportasi seperti busway dan monorel yang mandek hingga kini.

Dari tiga proyek busway koridor VIII (Lebak Bulus Harmoni), IX (Pinang Ranti-Pluit) dan X (Cililitan-Tanjung Priok), tercatat potensi kemacetan di 33 titik pembangunan halte tertunda tersebut. Sedangkan jika pembangunan konstruksi monorel kembali dimulai, maka potensi kemacetan di 30 titik bakal bertambah.

Data statistik itu, belum ditambah dengan agenda pembangunan DKI tahun ini yang juga berpotensi besar terhambat akibat terlunta-luntanya pencairan APBD. Misalnya saja pembangunan Fly Over atau jembatan Latuharhari yang tahun ini dianggarkan Rp40 miliar dalam pembangunan tahap II.

Kemandekan lainnya yang menyebabkan macet cukup parah di DKI yakni perbaikan jalan rusak Jakarta. Setiap tahunnya, dejavu permasalahan ini kembali terulang. Hal itu disebabkan anggaran perbaikan jalan di DKI termasuk anggaran rutin. Akibatnya, setiap tahunnya dana perbaikan jalan harus menunggu turunnya APBD yang lagi-lagi mengalami nasib serupa dengan kondisi jalan itu sendiri, alias macet.

Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, kerusakan jalan di DKI akibat banjir dan hujan awal tahun mencapai 456.300 meter persegi, atau 1,17% dari luas jalan DKI. Kerusakan terdiri dari 15.427 meter persegi jalur busway dan sisanya, 440.873 meter persegi jalur reguler. Berdasarkan data Traffic Manajemen Center (TMC), jalan rusak di DKI telah mencapai 120 titik lubang. Tahun lalu, kerusakan jalan di ibukota mencapai 1,06 persen atau mencapai 414.000 meter persegi.

Idealnya, menurut Kepala Dinas PU DKI Whisnu Subagya, pemeliharaan jalan di Jakarta membutuhkan dana Rp280 miliar per tahun. Tahun ini, Pemprov DKI mengusulkan dana Rp54 miliar pada APBD 2008 untuk perbaikan jalan rusak, namun hanya disetujui Rp27 miliar oleh DPRD, sementara sisanya dialihkan untuk perbaikan jalan di tingkat lokal (kotamadya).

Karena APBD yang terlambat, maka dari target rampung April 2008, perbaikan total baru bisa dimulai Mei 2008 kemarin. Sebelumnya perbaikan jalan dilakukan secara bertahap oleh Dinas PU DKI dengan menggunakan dana percepatan APBD.

Faktor ketiga kemacetan, karena beralihnya fungsi jalan menjadi lahan parkir, terminal bayangan, pangkalan ojek dan tempat berdagang. Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurrachman, setidaknya ada 140 lokasi terminal bayangan di Jakarta, dengan masing-masing 30 lokasi di Jakarta Pusat, 32 lokasi Jakarta Utara, 17 lokasi Jakarta Barat, Jakarta Selatan 28 lokasi dan Jakarta Timur 33 lokasi.

Sedangkan jumlah parkir liar diperkirakan lebih dari lima kali lipat jumlah terminal bayangan di Jakarta. Menjamurnya fasilitas umum ilegal ini, umumnya berbanding lurus dengan kegiatan bisnis disekitarnya. Semakin tinggi mobilitas bisnis diwilayah itu, maka parkir liar pun muncul.

Beberapa kawasan yang terkenal dengan kawasan parkir liarnya a.l lokasi wisata kuliner jalan Sabang, wisata malam jalan Jaksa, sepanjang kawasan Benhil, dan titik transfer mobilitas kendaraan di UKI Cawang.

Namun, bagi pedagang kaki lima dan asongan, kemacetan justru menjadi peluang peningkatan penghasilan mereka, yang sengaja mereka incar keberadaannya. Sebut saja pedagang kaki lima diseputaran blok A tanah Abang, yang setiap hari jumlahnya makin banyak. Meski penertiban terus dilakukan secara rutin, namun mereka seolah enggan meninggalkan tempat yang dianggap sebagai salah satu tambang emasnya para pedagang kaki lima itu. Akibatnya, kemacetanpun makin semrawut.

Kemacetan regulasi

Menghadirkan kemacetan di kota Jakarta ternyata tak sesulit menghapuskannya. Bertahun-tahun penguasa ibukota negara ini mencoba mengatasinya, bertahun-tahun itu pula kegagalan yang kembali dipetik.

Sejak kota Batavia ini dipimpin oleh Ali Sadikin diera 70an, para pakar transportasi telah menyebutkan macet akan membelenggu Jakarta. Kemudian serangkaian proyek mulai dilakukan termasuk pembangunan sarana fisik dan perbaikan Jakarta, yang kini dikenal dengan jalan MH Thamrin. Selain itu, konsep moda transportasi masal pun mulai didengungkan.

Hingga era kepemimpinan Fauzi-Bowo dan Prijanto saat ini, serangkaian skenario terus digulirkan. Mulai dari realisasi moda transportasi masal, pemberlakukan hari bebas kendaraan (car free day) setiap akhir bulan, sosialisasi program bike to work, dan peningkatan disiplin berlalu lintas. Namun, lagi-lagi langkah tersebut belum kunjung membuahkan hasil memuaskan.

Bahkan, upaya pengurangan kendaraan melalui peningkatan pajak kendaraan bermotor dan BBNKB tetap tidak bisa menghentikan arus masuk kendaraan di Jakarta. Tahun ini, rencana kenaikan DPP PKB dan BBNKB yang dipatok naik 5% dari nilai jual kendaraan tahun lalupun, diyakini Nurrachman tidak mampu menyetop warga Jakarta untuk membeli mobil dengan alasan prestise.

“Walaupun pajak kendaraan naik setiap tahunnya, jumlah kendaraan pribadi terus bertambah,” tegas dia.

Sedangkan upaya untuk menertibkan terminal bayangan, parkir liar dan PKL pun tidak mudah begitu saja dilakukan. “Perlu kajian dan kanalisasi. Karena adanya mereka berawal dari yang kecil kemudian melebar,” demikian alasan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto.

Penertiban teranyar yang ditempuh Pemprov DKI mengatasi penyebab macet yakni menggembok ban mobil-mobil yang parkir sembarang. Agenda rutin mingguan ini juga belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan karena belum diterapkan secara serempak dilima wilayah DKI.

Setiap program perbaikan kerap dianggap sebagai kegiatan musiman, dan kedisplinan berlalu lintas dianggap sebagai peraturan yang bisa dilanggar asalkan mau kompromi. Rambu-rambu lalulintas seolah hanya sebagai penghias jalan yang harus ditaati ketika aparat berjaga saja.

Entah ini terkait budaya Indonesia yang dikenal sebagai negara korupsi sehingga penegakan disiplin berlalulintas yang seyogyanya menyangkut keselamatan dan nyawa seseorangpun bisa dikompromi dengan uang. Akibatnya, sanksi tilang dengan mudah ditangkis dengan lembaran uang gobanan

Akhirnya, mengutip ucapan Gubernur DKI Jakarta, regulasi saja ternyata tidaklah cukup dalam mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. “Perlu koordinasi dan kesadaran bagi kita semua,” tandas dia.

Yah, memang diperlukan kesadaran bersama untuk menyadari macet bukanlah masalah sepele. Macet adalah masalah yang sangat merugikan. Ketika kerugian akibatnya telah mencapai Rp12,8 triliun per tahun atau berselisih Rp7,79 triliun dari APBD DKI tahun ini.

Kerugian tersebut, termasuk kerugian kesehatan akibat emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian WHO pada 2006, kualitas udara di Jakarta menduduki peringkat ketiga terburuk di dunia setelah Meksiko City dan Bangkok, dengan hampir 100% kawasan Jakarta memiliki tingkat pencemaran partikel debu dilevel indeks antara 200-300.

Akibatnya, warga Jakarta terancam mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), asma, kanker paru-paru, dan mengakibatkan anak-anak di Jakarta rentan memiliki Iq rendah (jongkok).

Lebih dari itu apabila situasi dan kondisi transportasi di Ibukota terus dibiarkan, para ahli transportasi perkotaan memperkirakan pada 2014 Jakarta akan mengalami stagnasi lalulintas. Wallahu alam