Misalnya saja, yang dialami oleh Liz Adianti yang bekerja sebagai national corporate sales PT Indosat. Sejak awal kehamilan anak pertamanya, Liz mengaku seringkali merasa was-was menghadapi proses persalinan.
Akhirnya, dia dan sang suami bertekad mencari cara bagaimana caranya dia bisa melahirkan tanpa merasakan rasa sakit yang luarbiasa, hingga akhirnya menemukan teknik melahirkan dalam air atau yang biasa disebut water birth.
Kurangi kesakitan hingga 90%
Lantas, diapun mendapatkan bantuan dari dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan dr. T.Otamar Samsudin, SpOG dan istrinya dokter Spesialis Anak dr. Keumala Pringgadini, SpA melewati proses persalinan waterbirth pada 4 Oktober 2006, saat melahirkan putra keduanya, di SamMarie Family Healthcare.
Menurut Liz, proses persalinannya sangatlah berbeda dibandingkan ketika dia melahirkan anak pertamanya, terutama rasa sakit yang berkurang sekitar 40% dibandingkan saat dia melahirkan normal beberapa tahun sebelumnya.
“Rasa sakitnya berkurang, mungkin karena faktor psikis aku yang merasa lebih nyaman menjalani proses persalinan dengan cara ini,” ujar Liz yang melahirkan bayi seberat 38,90 gram dan panjang 50,1 cm dalam proses water birth tersebut.
Liz juga menambahkan bahwa selama proses persalinan dia merasakan relaks dan juga tidak mendapatkan jahitan besar seperti pada persalinan pertamanya.
Sama seperti Liz, Radhite Handayanie juga mengaku merasa rileks dan tidak mengalami sakit yang luarbiasa selama kontraksi sebelum kelahiran putra pertamanya. Bahkan, karena rasa relaks yang dirasakannya itu, Dithe mengaku sempat merasa ngantuk saat proses kelahiran. “Mungkin ini salah satu yang harus diwaspadai para ibu-ibu yang ingin melahirkan dengan cara ini, yaitu jangan sampai tertidur karena merasa relaks,” ujar Dithe sambil tersenyum.
Kurangi stres ibu dan anak
Sementara itu, berbeda dengan Liz dan juga Radithe, alasan Sita Sawitri (28) melakukan proses water birth karena dia ingin melakukan proses persalinan yang bisa mengurangi tingkat stres pada bayinya. “Yang aku dengar dan baca, bahwa water birth ini bisa mengurangi stres bayi pada saat mencari jalan lahir. Karena itulah aku berminat untuk menjalaninya,” ujar wanita yang bekerja di Broadband Multimedia Advertising ini.
Namun, dia juga mengaku dengan water birth rasa sakit yang dirasakannya saat melahirkan putri pertamanya dulu berkurang setidaknya 60% selama masa kontraksi.
Selama proses persalinan, Sita juga melakukan induksi berendam di air panas untuk memancing pembukaannya agar lebih cepat.
Hanya berselang empat jam kemudian, diapun masuk dalam pembukaan 6 dan kemudian mulai masuk dalam kolam hingga akhirnya persalinan berjalan hanya sekitar setengah jam saja. “Proses bayinya keluar sendiri, hanya sekitar 15 menit. Aku juga tidak banyak mengeluarkan darah dan hanya mendapatkan sedikit jahitan karena salah mengejan,” tutur Sita yang melahirkan bayi seberat 3.67 dan panjang 49 cm yang diberi nama Aqilla Daffaryan Satrio Putra itu.
Sita juga mengaku sangat puas dan senang bisa menjalani proses water birth ini. bahkan diapun mengaku berniat melakukannya kembali jika kelak kembali hamil. Diapun mengatakan lebih cepat merasa pulih dan segar setelah melakukan persalinan water birth, dan bayinya pun lebih bersih dari pada saat dia melahirkan sebelumnya.
Alamiah seperti persalinan normal
Water birth merupakan teknik melahirkan yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh Igor Tjarkovsky di Rusia. Kemudian berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika. Sedangkan di Indonesia masih baru dan pertama kali diterapkan, dan pertama kali dilakukan Liz Adianti dan suaminya Harlizon pada tahun 2006 lalu.
Proses melahirkan dengan metode waterbirth ini menurut dr Otamar sangat sederhana dan tak jauh berbeda dengan persalinan normal. Yang berbeda hanyalah mediasinya saja yang menggunakan kolam air berdiameter 2 m, berisi air hangat bersuhu 34-36 derajat C atau kurang lebih sama dengan suhu di dalam rahim yang membantu ibu mengurangi rasa sakitnya selama kontraksi, sekaligus juga melancarkan proses persalinan. “Air hangat ini membuat kulit vagina menjadi elastis sehingga proses kelahiran lebih mudah dan cepat,” ujar dr. Otamar.
Umumnya, proses kelahiran water birth memakan waktu selama 1,5 hingga 2 jam, dan ibu masuk kedalam kolam ketika masuk pembukaan ke lima atau ke enam.
Air yang digunakanpun menurut Otamar adalah air yang telah disterilisasi dengan ultraviolet sehingga aman bagi bayi. “Bayi tidak akan tersedak air karena mereka baru bernafas setelah menangis, dan kami usahakan bayi diangkat cepat dari air setelah dilahirkan,” tambahnya.
Manfaat lainnya, menurut Otamar suhu air yang hangat membuat sirkulasi pembuluh darah lebih baik sehingga kontraksi lebih mudah dan mulut rahim menjadi lembek dan mudah dibuka. Bahkan untuk beberapa kasus, mulut rahim tidak perlu dijahit lagi karena tidak robek.
Sementara itu, dr Keumala mengatakan bahwa pengaruh persalinan water birth ini, di luar negeri disebutkan bisa meningkatkan kecerdasan anak. Hal tersebut dimungkinkan karena prosesnya yang alamiah dan tidak adanya pemaksaan atau tarikan pada kepala bayi sehingga bayi tidak mengalami trauma kepala seperti yang mungkin terjadi pada persalinan normal ataupun caesar.
Resiko & Prasyarat
Mengenai resiko melahirkan di air resikonya hampir sama dengan melahirkan normal. Namun, menurut Otamar tidak semua orang bisa melahirkan dengan cara ini, mereka yang memiliki panggul kecil, bayi sungsang atau melintang, atau ibu yang menderita herpes dilarang melakukannya. “Kuman herpes tidak mati di dalam air dan penularan dapat terjadi melalui mata lewat selaput lendir dan tenggorokan bayi. Karena itu, mereka yang punya penyakit herpes tidak disarankan menjalani proses water birth ini,” ujar Otamar.
Selain itu, ibu yang ingin melakukan water birth pun, menurut Otamar harus menjalani senam hamil sebelumnya untuk pernafasan dan kelenturan lubang vagina sehingga memudahkan kelahiran si bayi.
Keuntungan melahirkan di air ini menurut Otamar adalah sang ibu merasakan rileks dan nyaman, bisa mengurangi rasa sakit, bisa lebih bebas bergerak dan pindah posisi, dan Mengurangi perobekan perineum (daerah antara vagina sampai anus) sehingga tidak perlu dilakukan episiotomi (penjahitan). Sementara pada bayi, mencegah trauma atau risiko cedera kepala bayi, kulit bayi lebih bersih, dan menurunkan risiko bayi keracunan ketuban.