Padahal, menurutku malam hari adalah waktu terbaik menikmati keindahan sekaligus keramahan cuaca di Jakarta. Meski polusi masih banyak betebaran, namun setidaknya panasnya suhu sudah tak terasa dan keindahan lampu-lampu membuat dia tampak makin cantik ditengah malam.
Ibarat manusia, mungkin kota Jakarta bisa dikategorikan sebagai wanita yang umumnya tampil lebih cantik dimalam hari (ini mungkin hanya dimengerti oleh perempuan saja :p )
Namun 18 juni 2007 kemarin, rasanya kenikmatan itu langsung terenggut dari hatiku. Tepatnya pukul 15.00 wib ketika aku menyebrangi jembatan penyebarangan didepan hotel Le Meridien dan Sona Topas Jakarta Selatan.
Panas jakarta masih seperti biasanya, membakar kulit dan membuat pusing kepala. Langkahku pendek-pendek namun mantap menaiki satu persatu anak tangga jembatan penyebrangan itu.
Ketika tepat ditengah jembatan, duduk seorang bapak tua berusia sekitar 70an, dengan barang dagangan gelaran disampingnya. Sekilas kulirik dia, terlihat diam menyaksikan kumpulan gembok dan peralatan rumah tangga lain yang menjadi dagangannya.Walau sekilas, kulihat dia menahan kantuknya, dengan butiran keringat didahinya.
Jembatan tersebut selalu sepi sehingga saat itu aku merasa ia seolah menanti harapan kosong demi mendapatkan rupiah sekedar ongkos pulang atau membeli makan bagi perutnya dan juga keluarganya.
Uffh seharusnya sang kakek saat itu tengah tidur siang seperti layaknya para kakek lainnya, atau bahkan seharusnya dia tengah tertawa sambil mengasuh sang cucu yang terus mengganggu waktu membacanya.
Namun dia berada disitu, dengan semangatnya yang menolak menadahkan tangan hanya meminta belas kasihan orang lain, dan berjuang dengan sisa-sisa kemampuannya.
Kupaksakan diri untuk tak kembali menatapnya, dan kuteruskan langkah menuju ketujuanku.
Selesai pertemuanku, kembali kulewati rute yang sama, dan ternyata sang kakek masih berada ditempat yang sama.
Namun kini, dia tak lagi terduduk membeku, namun tengah sibuk membereskan dagangannya, karena langit tak bersahabat dengan awan mendung menggantung siap menjatuhkan hujannya.
Kali ini sama sekali tak bisa kulepaskan tatapanku dari sosok yang mungkin penuh derita, karena pengalaman hidup dan penderitaan yang makin membungkukkan tubuhnya.
Dengan telaten dia membereskan dagangannya, dan merapikannya dalam sebuah karung lusuh yang sudah tertambal disana sini. Aah ingin rasanya membantunya, namun kulihat dia begitu serius hingga tak menanggapi sapaanku. Sambil berjalan terus kupanjatkan harapanku. Semoga hidupmu lebih baik dari saat ku melihatmu. Dan semoga hidup mau berkompromi pada perjuanganmu selama ini. Yah semoga saja……………