Thursday, June 15, 2006
time is over
"kalau memang dunia tak cukup untuk kita berdua, biarlah aku yang mengalah meninggalkannya. ini bukan rasa suka, ini bukan cinta, namun inilah rasa sayangku, hingga aku rela untuk kehilangan"
Tuesday, June 13, 2006
perempuan dimata perempuan
perempuan...
siapakah engkau?
bagaimanakah engkau?
perempuan.....
lemahkah engkau?
seperti yang sering ditiupkan angin lewat semilirnya..
perempuan......
kejamkah engkau?
ketika cemburu menodaimu
seperti yang sering dialirkan air lewat hulunya
perempuan...
hinakah engkau?
ketika cinta merasukimu,
dan menjatuhkanmu dalam kenistaan
karena rasa cinta tak bersyarat
seperti yang sering dialunkan musik lewat iramanya
perempuan...
apakah engkau perempuan?
apakah aku perempuan?
ataukah hanya seonggok perempuan dimata perempuan?
Membicarakan hakekat dan kodrat perempuan memang tak akan pernah akan ada habisnya sampai kapanpun. Sejak masa Hawa diturunkan setelah turunnya Adam kemuka bumi ini, hakaket perempuan memang selalu berada dibawah laki-laki. Hingga akhirnya dunia sudah memasuki era moderanisasi dan juga kemajuan yang luarbiasa, namun masalah genderisasi seakan tak pernah lekang dimakan waktu.
Symbol sebagai mahluk kelas kedua setelah pria telah membuat perempuan banyak kehilangan hak-hak suara dan tindakannya dimata pria.
Saat perempuan meneriakkan sebuah kata emansipasi, tatapan sinis masih tampak dari wajah sang lawan jenis. Rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang sebenarnya enggan saya jamah disinipun, kental dengan pengekangan terhadap hak-hak ekspresi seorang perempuan. Kontroversi seputar pro kontra pemberlakuan calon undang-undang baru inipun terus bergulir hingga saat ini.
Belum lagi tindak kekerasan pada perempuan seolah menjadi bumbu pelengkap kelemahan perempuan dibawah kekuasaan kaum pria.
Akankah perjuangan Kartini ikut terkubur saat jasad sang pejuang wanita tersebut terkubur didalam bumi? Atau mungkinkah akan muncul Kartini-Kartini baru yang tak lagi beratribut kebaya ditubuhnya. Entahlah.
Adilkah?
Saat pria dianggap wajar berpoligami, maka wanita berpoliandri dianggap seorang perempuan haus sex yang tak layak hidup dimasyarakat. Bahkan, bagi perempuan-perempuan peselingkuhan pria-pria hidung belang, mengalami hal yang lebih tidak manusiawi lagi. Julukan mulai dari perempuan nakal, jalang, binal hingga pelacur dengan mudahnya keluar dari para penghakim sosial tanpa jubah itu.
Saat pria peselingkuh bisa kembali dengan mudah kembali kepangkuan sang istri yang ikhlas menerimanya, maka mungkinkah sang suami bisa berlapang dada melakukan hal yang serupa pada istrinya yang berselingkuh?
Adil atau tak adil, tapi itulah kenyataan. Setuju atau tidak setuju, tapi itulah yang ada didepan mata kita bukan? Kalau kebetulan Anda seorang pria yang membaca tulisan ini mengatakan bahwa saya berpikir secara sepihak karena saya perempuan, maka tolong Anda renungkan, apakah pemikiran saya ini adalah sesuatu yang salah?
Musuh terbesar wanita
Perempuan memang kerap berpikir dengan perasaannya dibandingkan dengan logikanya.
Hal tersebutlah yang kemudian menjadi bumerang mereka, saat mereka dihadapkan dengan masalah yang dilematis. Terutama dalam urusan cinta. Karena unsur perasaan inilah, akhirnya lebih banyak wanita yang patah hati dan terlalu larut dalam kisah cinta, dibandingkan laki-laki. Bahkan karena perasaannya inilah, banyak perempuan yang rela menjadi perempuan kedua karena perasaan yang bernama cinta? Ironisnya.
Kalau banyak orang berkata bahwa pria menjadi musuh terbesar wanita saat kehancuran menimpanya. Bagi saya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena pada dasarnya banyak wanita yang lebih menderita karena perlakuan wanita lain. Sebut saja nasib si istri tua karena perlakuan sang istri muda, atau kebalikannya.
Bahkan umpatan pelacur, wanita jalang, binal, lebih sering keluar dari seorang mulut perempuan kepada pesaingnya, dibandingkan dari mulut seorang pria kepada seorang perempuan. Pernahkah kita berpikir pada saat umpatan tersebut kita lontarkan, apakah kita adalah perempuan yang lebih baik darinya?
Kalau sampai saat ini, kita sebagai perempuan masih memandang sinis pada perempuan-perempuan penjaja cinta, dan perempuan kedua yang terbelenggu karena cinta, sudah sepantasnya kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita sudah menjadi perempuan dimata perempuan?
siapakah engkau?
bagaimanakah engkau?
perempuan.....
lemahkah engkau?
seperti yang sering ditiupkan angin lewat semilirnya..
perempuan......
kejamkah engkau?
ketika cemburu menodaimu
seperti yang sering dialirkan air lewat hulunya
perempuan...
hinakah engkau?
ketika cinta merasukimu,
dan menjatuhkanmu dalam kenistaan
karena rasa cinta tak bersyarat
seperti yang sering dialunkan musik lewat iramanya
perempuan...
apakah engkau perempuan?
apakah aku perempuan?
ataukah hanya seonggok perempuan dimata perempuan?
Membicarakan hakekat dan kodrat perempuan memang tak akan pernah akan ada habisnya sampai kapanpun. Sejak masa Hawa diturunkan setelah turunnya Adam kemuka bumi ini, hakaket perempuan memang selalu berada dibawah laki-laki. Hingga akhirnya dunia sudah memasuki era moderanisasi dan juga kemajuan yang luarbiasa, namun masalah genderisasi seakan tak pernah lekang dimakan waktu.
Symbol sebagai mahluk kelas kedua setelah pria telah membuat perempuan banyak kehilangan hak-hak suara dan tindakannya dimata pria.
Saat perempuan meneriakkan sebuah kata emansipasi, tatapan sinis masih tampak dari wajah sang lawan jenis. Rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang sebenarnya enggan saya jamah disinipun, kental dengan pengekangan terhadap hak-hak ekspresi seorang perempuan. Kontroversi seputar pro kontra pemberlakuan calon undang-undang baru inipun terus bergulir hingga saat ini.
Belum lagi tindak kekerasan pada perempuan seolah menjadi bumbu pelengkap kelemahan perempuan dibawah kekuasaan kaum pria.
Akankah perjuangan Kartini ikut terkubur saat jasad sang pejuang wanita tersebut terkubur didalam bumi? Atau mungkinkah akan muncul Kartini-Kartini baru yang tak lagi beratribut kebaya ditubuhnya. Entahlah.
Adilkah?
Saat pria dianggap wajar berpoligami, maka wanita berpoliandri dianggap seorang perempuan haus sex yang tak layak hidup dimasyarakat. Bahkan, bagi perempuan-perempuan peselingkuhan pria-pria hidung belang, mengalami hal yang lebih tidak manusiawi lagi. Julukan mulai dari perempuan nakal, jalang, binal hingga pelacur dengan mudahnya keluar dari para penghakim sosial tanpa jubah itu.
Saat pria peselingkuh bisa kembali dengan mudah kembali kepangkuan sang istri yang ikhlas menerimanya, maka mungkinkah sang suami bisa berlapang dada melakukan hal yang serupa pada istrinya yang berselingkuh?
Adil atau tak adil, tapi itulah kenyataan. Setuju atau tidak setuju, tapi itulah yang ada didepan mata kita bukan? Kalau kebetulan Anda seorang pria yang membaca tulisan ini mengatakan bahwa saya berpikir secara sepihak karena saya perempuan, maka tolong Anda renungkan, apakah pemikiran saya ini adalah sesuatu yang salah?
Musuh terbesar wanita
Perempuan memang kerap berpikir dengan perasaannya dibandingkan dengan logikanya.
Hal tersebutlah yang kemudian menjadi bumerang mereka, saat mereka dihadapkan dengan masalah yang dilematis. Terutama dalam urusan cinta. Karena unsur perasaan inilah, akhirnya lebih banyak wanita yang patah hati dan terlalu larut dalam kisah cinta, dibandingkan laki-laki. Bahkan karena perasaannya inilah, banyak perempuan yang rela menjadi perempuan kedua karena perasaan yang bernama cinta? Ironisnya.
Kalau banyak orang berkata bahwa pria menjadi musuh terbesar wanita saat kehancuran menimpanya. Bagi saya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena pada dasarnya banyak wanita yang lebih menderita karena perlakuan wanita lain. Sebut saja nasib si istri tua karena perlakuan sang istri muda, atau kebalikannya.
Bahkan umpatan pelacur, wanita jalang, binal, lebih sering keluar dari seorang mulut perempuan kepada pesaingnya, dibandingkan dari mulut seorang pria kepada seorang perempuan. Pernahkah kita berpikir pada saat umpatan tersebut kita lontarkan, apakah kita adalah perempuan yang lebih baik darinya?
Kalau sampai saat ini, kita sebagai perempuan masih memandang sinis pada perempuan-perempuan penjaja cinta, dan perempuan kedua yang terbelenggu karena cinta, sudah sepantasnya kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita sudah menjadi perempuan dimata perempuan?
Saturday, June 10, 2006
really touching story (karena cerita ini, saya jadi lebih menghargai persaudaraan, persahabatan, dan makin mencintai keluarga dan sahabatku)
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yangmencintaiku lebih daripada aku mencintainya. Suatu ketika, untukmembeli sebuah sapu tangan yang manasemua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri limapuluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuatadikku dan aku berlutut didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yangmencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untukberbicara. Ayah tidakmendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalaubegitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itutingi-tinggi. Tiba-tiba,adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliaukehabisan napas.Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apalagi yang akan kamu lakukan dimasa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Dipertengahan malam itu, saya tiba-tibamulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangankecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanyasudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memilikicukup keberanian untuk maju mengaku.Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatanseperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketikaia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ialulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, sayaditerima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kitamemberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusapair matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimanamungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membacabanyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku padawajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akanmenyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian iamengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Akumenjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yangmembengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskansekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurangkemiskinanini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan keuniversitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikkumeninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikitkacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku danmeninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk keuniversitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja danmengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahkupinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan darimengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnyasampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku,ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang pendudukdusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusunmencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruhbadannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akanmereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidakakan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapudebu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,"Aku tidak perduli omongan siapa pun!Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana punpenampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semuagadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku kedalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahunitu, ia berusia 20. Aku 23.Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecahtelah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarkupulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidakperlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awaluntuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka padatangannya? Ia terlukaketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangankecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasamenusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalutlukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya."Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasikonstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itutidak menghentikanku bekerja dan."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhkumemunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggaldi kota. Banyak kalisuamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggalbersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan,sekali meninggalkan dusun, mereka tidakakan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,"Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikkumendapatkan pekerjaan sebagai manajer padadepartemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Iabersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuahkabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.Suamiku dan aku pergi menjenguknya.Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamumenolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukansesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yangbegitu serius. Mengapa kamu tidakmau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius padawajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru sajajadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadimanajer seperti itu, berita seperti apa yang akandikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluarkata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan jugakarena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggamtanganku.Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketikaia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acarapernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapayang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir iamenjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuahkisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD,ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan sayaberjalan selama dua jam untuk pergi kesekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu darisarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanyamemakai satu saja dan berjalansejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetarankarena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegangsumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkanperhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Friday, June 09, 2006
my favourite song (for someone out there)
Truly
Babe, tell me only this
That I have your heart
For always
And you, want me by your side
Wispering the words, I'll always love you
And forever
I will be your lover
And I know if you really care
I will always be there
Babe,
I need to tell you this
There's no other love... like your love
And I as long as I live
I'll give you all the joy my heart and soul can give
Let me hold you
I need to have you near me
And I feel with you in my arms
This love will last forever
Reff : Because I'm truly
Truly in love with you, babe
I'm truly
Head over heals with your love
I need you
And with your love I'm free
And truly
You know you're alright with me
Babe, tell me only this
That I have your heart
For always
And you, want me by your side
Wispering the words, I'll always love you
And forever
I will be your lover
And I know if you really care
I will always be there
Babe,
I need to tell you this
There's no other love... like your love
And I as long as I live
I'll give you all the joy my heart and soul can give
Let me hold you
I need to have you near me
And I feel with you in my arms
This love will last forever
Reff : Because I'm truly
Truly in love with you, babe
I'm truly
Head over heals with your love
I need you
And with your love I'm free
And truly
You know you're alright with me
my feel
kuhanya ingin diam saat ungkapkan perasaanku
agar kau mengerti betapa rasaku
kuhanya ingin diam saat kau lukai hatiku dengan segala sikap dan lisanmu
agar kau tahu betapa cintaku
kuhanya ingin diam
saat kau tinggalkanku dengan segala kenangan pahit dan manis yang mungkintak pernah kau kau rasakan namun kuresapi.
karena hanya dalam diam kubisa rasakan semua rasamu, yang tak pernah nyata dan mungkin tak pernah kaurasakan dan hanya kuangankan
________________
cinta membiusku dengan kasih sayang tak pamrih,...
menempaku dengan pengorbanan tak berbelas,....
menghujaniku dengan keikhlasan tak berujung,...
merayuku dengan sentuhan nafsu tak berakhir,....
memapahku dalam kebahagiaan semu,....
bahkan ia mencambukku dengan kegelisahan tanpa batas
_____________
aroma itu kembali menyengat ketika kuinginmelupakan,...
sentuhan itu kembali terasa saat kupupuk benciku,....
tatapan itu kembali menusuk saat kujauhkan diri,...
pelukan itu kembali hangat saat dingin mulaiku ciptakan
wajah itu kembali hadi setiap kali kubangun tembokku,..
ketika kuciptakan benciku,...
cintaku selalu datang meruntuhkannya..
_____________
gelapnya langit ternyata bukan karenamu,..
meluapnya laut ternyata bukan karena kepergianmu,...
hancurnya hatikupun ternyata bukan karenamu,....
karena semuanya bukanlah hanya tentangmu....
its my life
cintaku cinta platonis
yang kutahu tak akan bersambut
dan tak mungkin melangkah bersama
ia begitu jauh,
teramat jauh
dari gapaian tangan-tangan kerdilku
demikian jauhnya
hingga aku hanya bisa terkesima melihat sosoknya
tanpa bisa berbuat apa-apa
memandangnya dari kejauhan
terasa cukup mengobati dendam rindu yang membakar jiwaku
dari sudut tempat kuberpijak
kuharap dapat mencermati segala keindahan dirinya
-------------------
banyak rasa telah kureguk
banyak keluh telah kulempar
pada sebuah jiwa yang kosong
banyak angan kuhapuskan
berjuta asa kutepiskan
saat nyata mengikatku
saat sesat menghadangku
saat yang kugapai hanya bayang
aku merasa melayang
dalam dunia semu
dengan dinding nelangsa membentengi
--------------
jika aku tak pernah dilahirkan
akankah sendiri ini terasakan?
akankah tangis ini terhirupkan?
akankah keterasingan ini ternikmati?
namun jika itu semua akan menimpamu
biarlah aku yang terlahirkan
---------------
saat cermin mulai berdusta
tak ada yang terlihat nyata
nuranipun hanya dapat menyimpan rasa
saat kupalingkan muka
yang terlihat hanyalah keterasingan
yang gamang akan kesendirian
saat ingin kembali berjiwa
yang terlihat hanyalah sepotong raga,
asing....
dan sempat terlupa
-------------------
sukmaku serasa terbang dari ragaku
kian jauh dan enggan kembali,
hingga kekosongan kian menyedak.
Akankah kebahagiaan mendekap
Menyibak tabir kesedihan yang kian menebal
ribuan detik telah kulewati
namun alienasi itu
masih tak mampu aku hindari
--------------------
waktu
waktu itu terus berlalu
matahari dan bulan
tak akan mungkin menunggu
satu demi satu hari kita lalui
esok,....
kenangan itu,....
saat-saat itu,....
masa lalu itu,....
akan terasa lebih indah
buat kau tangisi,
buat kau tertawai,
buat kau renungi,
buat kau jadikan arti
--------------------
penat, lelah, resah
bilakah nirwana menyapa?
Menanggalkan segala kegelisahan
Sesaat ingin terpejam
Melupakan kefanaan
Menyentuh kedamaian
---------------
Aku bermimpi kegetiran
Aku bermimpi kefanaan
Aku bermimpi kesepian
Aku bermimpi keterasingan
Namun ternyata
Itu semua kenyataan
--------------------
Saat waktuku telah tiba
Aku tak ingin ada kesedihan
Karena aku
Takkan mampu menghentikannya
---------------
Kucoba selami jiwa
Tuk menguak hasrat hati
Namun
Yang terlihat
Hanyalah
Keterasingan
Yang gamang akan kesendirian
----------------
Salahkah aku?
Dengan segala rasa ini?
Kucoba tepiskan rasa dan asa ini
Tapi ternyata
Cintaku lebih besar dari yang kubayangkan
------------------
Akankah dunia berhenti berputar
Disaat airmata telah mengering…….
Disaat tawa terlupakan
Rindukah aku?
Bencikah aku?
Pada nikmatnya airmata?
Pada pedihnya tawa?
Aku hanya dapat menunggu…..
Hingga aku tak lagi merasa….
------------------
Tawa yang kau lihat adalah tangisan
Senyum yang kau dapat adalah kepedihan
Apakah tak selamanya
Airmata mampu mengungkapkan kesedihan?
Ataukah ini akhir sisi insaniku?
----------------
Jika aku menangis
Hentikanlah
Jika aku tertawa
Redamkanlah
Jika aku mengeluh
Ingatkanlah
Jika aku berdoa
Dengarkanlah
Mungkin itu akhir pintaku
-----------------
Seandainya aku tak pernah dilahirkan
Akankah kesedihan ini terhirup?
Akankah sendiri ini terasakan?
Akankah beban ini menghimpit?
Akankah keterasingan ini ternikmati?
Namun
Jika itu semua akan menimpamu
Biarlah aku yang terlahirkan
------------------
Disaat kubimbang
Aku menghampiri pagi
Namun mentari enggan bersinar
Lalu aku berjalan pada petang
Namun lembayung enggan mengembang
Dan kemudian aku berlari pada malam
Namun bintang enggan berkelip
Saat aku kembali pada hatiku
Ternyata aku telah jauh tertinggal
-----------------
Mungkin kau tak pernah tahu
Bahwa aku telah buta saat kau melihat
Bahwa aku telah bisu sejak kita bicara
Bahwa aku telah tuli saat kau berbisik
Karena aku telah mati sejak saat itu
-----------------
Aku tak ingin mengeluh
Karena keluh adalah penyesalan
Aku tak ingin tertawa
Karena tawa adalah kepura-puraan
Aku tak ingin berpikir
Karena berpikir adalah kemunafikan
Aku hanya ingin menikmati
Karena itulah aku ada
-----------------
Dapatkah kukatakan
Bahwa aku tak sanggup lagi
Kutak mampu lagi berpijak
Setiap tarikan nafasku kian berat
Saat kutahu tak ada yang bisa kudapat
Namun aku tak mengerti
Entah apa yang kutunggu
Karena,…..
Semuanya telah meninggalkanku
Namun aku masih setia menunggu
------------------
Saat ini hampa
Tanpa arah dan arti lagi
Bumi berputar
Aku diam
Aku kian sadar
Bahwa aku telah tenggelam
-------------------
Aku mencari
Aku menggapai
Aku mengejar
Aku meraba
Namun tak satupun teraih
yang kutahu tak akan bersambut
dan tak mungkin melangkah bersama
ia begitu jauh,
teramat jauh
dari gapaian tangan-tangan kerdilku
demikian jauhnya
hingga aku hanya bisa terkesima melihat sosoknya
tanpa bisa berbuat apa-apa
memandangnya dari kejauhan
terasa cukup mengobati dendam rindu yang membakar jiwaku
dari sudut tempat kuberpijak
kuharap dapat mencermati segala keindahan dirinya
-------------------
banyak rasa telah kureguk
banyak keluh telah kulempar
pada sebuah jiwa yang kosong
banyak angan kuhapuskan
berjuta asa kutepiskan
saat nyata mengikatku
saat sesat menghadangku
saat yang kugapai hanya bayang
aku merasa melayang
dalam dunia semu
dengan dinding nelangsa membentengi
--------------
jika aku tak pernah dilahirkan
akankah sendiri ini terasakan?
akankah tangis ini terhirupkan?
akankah keterasingan ini ternikmati?
namun jika itu semua akan menimpamu
biarlah aku yang terlahirkan
---------------
saat cermin mulai berdusta
tak ada yang terlihat nyata
nuranipun hanya dapat menyimpan rasa
saat kupalingkan muka
yang terlihat hanyalah keterasingan
yang gamang akan kesendirian
saat ingin kembali berjiwa
yang terlihat hanyalah sepotong raga,
asing....
dan sempat terlupa
-------------------
sukmaku serasa terbang dari ragaku
kian jauh dan enggan kembali,
hingga kekosongan kian menyedak.
Akankah kebahagiaan mendekap
Menyibak tabir kesedihan yang kian menebal
ribuan detik telah kulewati
namun alienasi itu
masih tak mampu aku hindari
--------------------
waktu
waktu itu terus berlalu
matahari dan bulan
tak akan mungkin menunggu
satu demi satu hari kita lalui
esok,....
kenangan itu,....
saat-saat itu,....
masa lalu itu,....
akan terasa lebih indah
buat kau tangisi,
buat kau tertawai,
buat kau renungi,
buat kau jadikan arti
--------------------
penat, lelah, resah
bilakah nirwana menyapa?
Menanggalkan segala kegelisahan
Sesaat ingin terpejam
Melupakan kefanaan
Menyentuh kedamaian
---------------
Aku bermimpi kegetiran
Aku bermimpi kefanaan
Aku bermimpi kesepian
Aku bermimpi keterasingan
Namun ternyata
Itu semua kenyataan
--------------------
Saat waktuku telah tiba
Aku tak ingin ada kesedihan
Karena aku
Takkan mampu menghentikannya
---------------
Kucoba selami jiwa
Tuk menguak hasrat hati
Namun
Yang terlihat
Hanyalah
Keterasingan
Yang gamang akan kesendirian
----------------
Salahkah aku?
Dengan segala rasa ini?
Kucoba tepiskan rasa dan asa ini
Tapi ternyata
Cintaku lebih besar dari yang kubayangkan
------------------
Akankah dunia berhenti berputar
Disaat airmata telah mengering…….
Disaat tawa terlupakan
Rindukah aku?
Bencikah aku?
Pada nikmatnya airmata?
Pada pedihnya tawa?
Aku hanya dapat menunggu…..
Hingga aku tak lagi merasa….
------------------
Tawa yang kau lihat adalah tangisan
Senyum yang kau dapat adalah kepedihan
Apakah tak selamanya
Airmata mampu mengungkapkan kesedihan?
Ataukah ini akhir sisi insaniku?
----------------
Jika aku menangis
Hentikanlah
Jika aku tertawa
Redamkanlah
Jika aku mengeluh
Ingatkanlah
Jika aku berdoa
Dengarkanlah
Mungkin itu akhir pintaku
-----------------
Seandainya aku tak pernah dilahirkan
Akankah kesedihan ini terhirup?
Akankah sendiri ini terasakan?
Akankah beban ini menghimpit?
Akankah keterasingan ini ternikmati?
Namun
Jika itu semua akan menimpamu
Biarlah aku yang terlahirkan
------------------
Disaat kubimbang
Aku menghampiri pagi
Namun mentari enggan bersinar
Lalu aku berjalan pada petang
Namun lembayung enggan mengembang
Dan kemudian aku berlari pada malam
Namun bintang enggan berkelip
Saat aku kembali pada hatiku
Ternyata aku telah jauh tertinggal
-----------------
Mungkin kau tak pernah tahu
Bahwa aku telah buta saat kau melihat
Bahwa aku telah bisu sejak kita bicara
Bahwa aku telah tuli saat kau berbisik
Karena aku telah mati sejak saat itu
-----------------
Aku tak ingin mengeluh
Karena keluh adalah penyesalan
Aku tak ingin tertawa
Karena tawa adalah kepura-puraan
Aku tak ingin berpikir
Karena berpikir adalah kemunafikan
Aku hanya ingin menikmati
Karena itulah aku ada
-----------------
Dapatkah kukatakan
Bahwa aku tak sanggup lagi
Kutak mampu lagi berpijak
Setiap tarikan nafasku kian berat
Saat kutahu tak ada yang bisa kudapat
Namun aku tak mengerti
Entah apa yang kutunggu
Karena,…..
Semuanya telah meninggalkanku
Namun aku masih setia menunggu
------------------
Saat ini hampa
Tanpa arah dan arti lagi
Bumi berputar
Aku diam
Aku kian sadar
Bahwa aku telah tenggelam
-------------------
Aku mencari
Aku menggapai
Aku mengejar
Aku meraba
Namun tak satupun teraih
Subscribe to:
Posts (Atom)